15th Anniversary

Kamis, 5 Februari, 2009, 11:13 PM

Setya-List
di weekend singel 2009

Kami memuji Allah dan bersyukur untuk segala ungkapan kasih teman-teman komunitas kepada kami berdua… Dialah yang menyanggupkan kita…

Sungguh kami mengalami kebenaran-Nya,

“Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?” (Roma 8:32).

Bagi kami teman-teman komunitas adalah termasuk dalam frasa ‘segala sesuatu’ dari ayat tersebut. Suatu karunia yang diberikan kepada kami bersama-sama dengan Kristus. Menjadi teladan, inspirasi, teguran, penjaga, pendukung (baik secara materi dan non materi), penyemangat, dst… bagi kami.

Terasa sesak dada saya dan panas mata saya merenungkan ini semua.  Sungguh Dia memang hebat.

Ada saat-saat meski gak akan ultah pernikahan, saya merenungkan hidup pernikahan saya, apa yang ‘lebih dalam’ yang Allah kehendaki bagi saya/kami berdua? Kebenaran Illahi apa yang saya/kami alami? Hal ini (salah satunya) yang hampir 2 tahunan ini saya istilahkan sebagai ‘rahasia’. Suatu ruang dan waktu yang sangat personal antara saya dengan Allah.

Semakin nyata bagi kami bahwa pernikahan membuat diri kami masing-masing lebih otentik, nyata aslinya, tidak sanggup/sempat berpura-pura, dan semacamnya… seiring dengan waktu. Betapa kami sebenarnya adalah pribadi yang rapuh, yang sungguh harus mengimani kelimpahan kasih karunia-Nya dan bahwa karya penebusan-Nya menjadikan kami pribadi yang bebas merdeka, bebas-sebebasnya dalam domain kebenaran (bebas melakukan kebenaran bukan bebas memilih yang benar atau salah).

Misalnya saya masih bisa merasa kecewa dengan suami tetapi saya merasa bebas untuk tetap melakukan kebenaran, seperti tidak membalas mengecewakan, mengungkapkan perasaan kecewa hanya sebagai ungkapan perasaan bukan pelampiasan apalagi menyalahkan/memojokkan beliau sebagai sumber kekecewaan, sebaliknya mengajak beliau diskusi atau minta masukan mengapa saya masih/bisa kecewa ya dengan hal tersebut, dsb.

Bahwa kehidupan pernikahan merupakan media yang paling dekat, nyata, luas tapi sederhana/simpel untuk menerapkan/mentaati FT dan sekaligus mengalami kebenaran FT itu sendiri. Seperti mengutamakan orang lain, tidak mencari kepentingan sendiri atau pujian yang sia-sia, mengasihi, mengampuni, menerima, dst….

Thethek mbengek urusan rumah tangga (memasak, membereskan rumah, atur ini itu, mendidik anak, melayani suami, dsb… dsb) bukan sekedar hal kewajiban atau hak atau supaya rumah tangga ini berjalan tetapi kesempatan untuk taat, kesempatan untuk menyatakan kasih, kesempatan untuk mengekspresikan kebebasan melakukan kebenaran….

Mengenal pasangan itu seumur hidup dan penuh dinamika (dan sangat menarik), tidak selalu bisa atau perlu untuk disimpulkan mengenai siapa/bagaimana dia karena bisa berubah dalam hitungan jam, hari, minggu, bulan, dan tahun. Penting untuk memuji Allah dan menerima dengan syukur terus-menerus.

Ecc 1:9,10 “Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Adakah sesuatu yang dapat dikatakan: “Lihatlah, ini baru!”? Tetapi itu sudah ada dulu, lama sebelum kita ada.”

Ayat ini menolong saya tidak emosional tetapi tetap ‘cool’ dan rileks dalam konflik. Tidak ada yang baru dalam konflik/masalah pernikahan/rumah tangga kami apapun itu. Gali akarnya dan provokatornya atau simulatornya :). Jadi tidak perlu ‘sangat’ terkejut/emosional bak naik roler coaster karena dalam Alkitab ada semua tentang apa yang kami alami (tanpa meremehkan sisi perasaan itu sendiri dan esensi dari konflik/masalah itu sendiri). Mari dihadapi, dibicarakan, dan diselesaikan. Dibawa kepada Allah.

Kami bisa/boleh putus asa, frustrasi, atau apalah terhadap sesuatu yang berkaitan dengan pasangan (sifat, kebiasaan, dsb) atau berkaitan dengan anak atau dengan pernikahan ini…. Tetapi ingatan dan keyakinan akan siapa Allah itu meluluh lantakkan segala ’emosi negatif’. Dia tetap setia, Dia tak pernah berputus asa, Dia tetap bekerja, Dia tetap mengasihi, dst… apapun sikon kami. Jadi mengapa kami tidak ‘menyerahkan’ semua itu kepada-Nya?

Pernah suatu saat, saya merasa sedih dan frustrasi dengan suatu sifat dalam diri suami. Saya merasa mentok-tok. Keadaan ini menyadarkan saya, memang siapa saya ini, sombong sekali seolah bisa ‘mengubah’ orang? Mengubah bukan bagian saya, meski saya bisa merasakan dan membicarakannya. Lalu ingatan akan Allah yang tetap setia dan bekerja dan berdaulat membuat saya sangat rileks, bahwa ada yang tetap ‘terjaga’ dalam setiap keadaan saya/kami.

Humor membuat kami ‘lebih hidup’…. Komentar anak saya: “Hal yang baik dalam diri kami berdua (bokap-nyokapnye) adalah dalam bergurau. Meski seolah ada saling mengejek tetapi kami tetap fun, gak ada sakit hati/kemarahan…” (karena memang niat kami bukan mengejek tapi melihat/analisa dari sisi lain, jelas saya)

Segini saja ya teman-teman… jadi kepanjangan nih… rasanya dalam segala kedalaman dan kebenaran yang coba saya tulis di atas, kami masih tetap terus belajar… mohon terus doakan kami… terima kasih sekali lagi.

(tulisan ini ndak sengaja ditemukan di arsip webmail -di milis komunitas. daripada diabaikan, ya dipasang di sini saja. thanks telah membaca. 6 Okt 2010)

Intermezo:
Tadi sebelum berdoa bareng bertiga, suami saya melontarkan ‘rayuan ji em bi el nya) sbb, “Ni lihat Ko (soko anak kami) bekas luka-luka di kaki bapak saat dulu mo menyelamatkan ibu dari bahaya.” (sambil memperlihatkan bekas-bekas luka di kakinya). Kebetulan salah satu bekas luka yg agak besar ada tepat di lutut kanannya (agak turun dikit).

Lalu saya sela, “Makasih ya pak. Tapi itu bukan luka karena menantang bahaya untuk  menyelamatkan ibu, tetapi luka karena terkena dagu bapak sendiri. Ceritanya saat itu bapak mo ikat tali sepatu tapi jongkoknya terlalu keras, berhubung dagunya runcing maka terantuklah itu lutut ke dagu hingga luka berdarah. Darahpun mengenai dagunya juga tetapi yang luka lututnya. Tahu gak Ko, ternyata yang dikasih betadin dan diplester malah dagunya yg hanya kena darah bukan lututnya yg luka. Jadi orang-orang heran ini yg luka lututnya tapi yang diobati dagunya…”

(List)

3 tanggapan untuk “15th Anniversary”

  1. Dagu bapak e bisa setajam itu ya mbak…? Selamat ya Mas n Mbak atas ulang tahun pernikahannya, walau agak terlambat. Tuhan memberkati keluarga dan pelayanan Mas n mbak di sini. Saya senang membaca tulisannya, sangat memberkati, menguatkan dan memotivasi saya bagaimana membangun komunikasi dengan istri dan anak-anak jg. JQ

    1. halo mas Jecky, iya nih dagunya tajem. he..he..

      ucapannya belum telat, malah mendahului, krn anniv-nya tgl 5 Feb kok… Gb

Tinggalkan komentar